Pilih seprofesi atau tidak seprofesi?
Tentang
Sekufu, Apakah juga termasuk seprofesi?
Penyusun : Kharisma Ridho Husodo, S.Ked
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah tabaraka wata’ala
yg karena rahmatNya tulisan ini dapat tergagas dan terwujud. Dan semoga
shalawat serta salam tercurahkan kepada baginda Nabiyyuna Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, beserta keluarganya, para sahabat dan umatnya yg
senantiasa teguh menggengam erat ajaran beliau.
Tulisan ini tergagas sekitar 2 tahun yang lalu, ketika
memasuki masa galau, setelah sarjana kedokteran. Mulai titik tersebut sudah
banyak terpikirkan masa depan, salah satunya adalah sandaran hati, teman
sehidup sesurga. Terutama untukmu kaum pemuda, jofisa (Jomblo fii
sabiilillaah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu
menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan
lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).”(HR
Bukhari & Muslim)
Betapa tidak? Di zaman yang fitnahnya na’udzubillah
ini, menikah adalah salah satu solusi untuk menjaga diri dari fitnah (bagi yang
sudah mampu untuk menikah). Selain itu, untuk menjaga keturunan kita agar
senantiasa dalam kebaikan.
Bukankah langkah pertama dalam menentukan arah pendidikan
anak kita adalah mencarikan ibu yang baik baginya?
Sungguh islam ini benar telah sempurna dan lengkap.
Alhamdulillah, Allah ta’ala telah memilih kita menjadi seorang muslim.
Di lingkup kehidupan profesi, banyak diantara senior kami
cenderung memilih pasangan dari kalangan sesama profesi karena alasan tertentu.
Akan tetapi juga terdapat sudut pandang lain yang tidak kalah penting, yaitu
yang cenderung memilih pasangan di luar lingkup profesi.
Bukankah islam juga mengajarkan untuk mencari pasangan
yang sekufu? Apakah seprofesi termasuk sekufu? Apakah ini menjadi keharusan?
Menikah adalah Sunnah Rasul
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ
يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan
melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.(HR Ibnu Majah)
Islam adalah agama yang sesuai fitah manusia diciptakan
secara pasang-pasangan. Dalam islam juga sudah diatur bagaimana menyatukan dua
insan yang terpisah sementara untuk disatukan lagi dalam mahligai rumah tangga
melalui proses menikah.
Maka sungguh aneh, jika ada yang sengaja menunda nikah
padahal sudah mampu dengan alasan harus punya rumah dulu, punya mobil dulu,
punya ruko dulu dan yang lainnya. Untukmu yang sekiranya udah mampu untuk
menafkahi untuk kebutuhan pokok, walaupun masih ngontrak atau menumpang di
rumah orang tua / mertua, segeralah menikah. Karena Allah ta’ala akan
menolong, dan ini adalah janji-Nya yang termaktub dalam Al-Quran :
انكحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ
مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (me-nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [QS
An-Nuur : 32]
Dan ini lah yang diserukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa mereka juga pasti akan ditolong :
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُجَاهِدُ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي
يُرِيْدُ الْعَفَافَ.
“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat
pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan
Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang
menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” (HR Ahmad dan An-nasa’i)
Lalu apa yang ragu lagi bagimu, insyaAllah Dia akan
menolongmu dengan cara yang tidak terduga dan dari arah yang tidak tersangka.
MasyaAllah, begitulah Allah ta’ala memberikan kejutan kebahagiaan kepada
hamba-Nya yang percaya kepada-Nya, tapi kebanyakan kita tidak percaya.
Dan petunjuk yang diberikan Allah kepada umatNya melalui
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempertimbangkan pemilihan
calon setidaknya terdapat 4 aspek. Sebagaimana dalam hadits berikut :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena 4 hal. Yakni karena
kecantikannya, karena hartanya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah karena
agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (HR & Bukhari & Muslim)
Memang tidak dapat dipungkiri, yang menjadi daya tarik dari
kaum wanita adalah kecantikannya terutama adalah secara fisik. Tetapi tidak
sedikit juga, laki-laki yang lebih tertarik dengan hartanya atau nasabnya,
semisal status sosialnya baik secara jabatan, profesi, pekerjaan maupun yang
lainnya.
Akan tetapi ketika dihadapkan dengan aspek agama, tidak
banyak yang teliti dalam melihatnya.
“Asalkan seagama, it’s okay”, ini adalah
kebanyakan pemikiran mereka, tapi bagaimana kalau islamnya hanya sebatas KTP?
Shalat sering bolong, mau mengurus rumah tangga? Hal ini lah yang berbahaya.
Maka perhatikan pula kompetensi agama calon pasanganmu, InsyaAllah dengan
akhlaq yang baik, akan menyikapi permasalahan rumah tangga dengan bijak, tidak
mudah keluar perkataan yang jelek dan perlakuan kasar.
Apa makna sekufu?
Dalam tulisan ini akan lebih fokus pada makna sekufu
(kafa’ah). Bagaimana sih sekufu itu? Sama satu daerah? Sama satu adat? Sama
satu profesi? Selevel jabatannya?
Secara arti, Sekufu (Kafa’ah) adalah kesamaan, kesetaraan
atau kecocokan. Jika dikaitkan dalam pemilihan pasangan maka hal ini bermakna
adanya kesamaan atau kesetaraan antara “Aku” dan “kamu”, dimana kesetaraan ini
bisa dalam hal keturunan, status sosial, ilmu dan harta kekayaan.
Beberapa ulama juga memiliki pendapat mengenai cakupan
sekufu. Berikut adalah ringkasannya :
1.
Sekufu diukur dengan nasab
(keturunan), ketaatan, agama, jabatan, pekerjaan dan kekayaan.
2.
Sekufu dalam masalah
ketaatan dalam agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu
dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya.
Pendapat kedua tersebut didasarkan pada firman Alah :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanta musyrik sehingga
mereka beriman, dan sungguh budak yang beriman itu lebih baik daripada
wanita-wanita musyrik, sekalipun dia sangat menarik bagimu. Dan janganlah kamu
menikahkan (wanita mukmin dari kaummu) dengan pria musyrik sampai dia beriman.
Sungguh budak laki-laki yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik
walaupun dia sangat menarik.”(QS Al-Baqarah : 221)
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa sekufu yang dimaksud
adalah dalam level keimanan, bahkan dihadapkan dengan seorang budak. Sehingga
pernikahan antara muslim dan kafir bukanlah pernikahan yang sekufu. Sehingga
kesetaraan yang disepakati ulama bahkan menyebabkan pernikahan tidak sah
jika kesetaraan ini tidak diperhatikan adalah kesetaraan dalam agama. Setara
dalam agama artinya agama calon suami dan istri itu sama. Seorang muslimah
hanya setara dengan seorang muslim. Para ulama sepakat bahwa seorang wanita
muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir.
Sedangkan kesetaraan dalam masalah yang lainnya
diperselisihkan oleh para ulama, apakah perlu diperhatikan ataukah tidak. Tetapi
pernikahan yang tidak dilandasi oleh kesetaraan (selain sekufu dalam agama dan
menjaga kehormatan) itu tidaklah haram. Dampak negatif pernikahan yang tidak
dilandasi kesetaraan adalah timbulnya dampak bagi pihak perempuan dan walinya.
Kalau seandainya pihak perempuan dan walinya ridha dengan aib yang
ditanggungnya maka akad nikah sah. Demikianlah pendapat ulama yang beranggapan
bahwa sekufu dalam selain masalah agama adalah masalah yang urgen.
Berikut terdapat hadits yang menceritakan tentang kesefukuan
dalam memilih pasangan :
فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ
وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
».
فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ
قَالَ « انْكِحِى أُسَامَةَ ». فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
بِهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Fathimah binti Qais tentang dua orang yang telah melamarnya, “Abu Jahm
adalah orang yang suka memukul istrinya. Sedangkan Muawiyah adalah orang yang
tidak berharta. Menikahlah dengan Usamah”. Sebenarnya aku tidak suka dengan
Usamah namun sekali lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah dengan Usamah”. Ahirnya aku menikah dengannya. Dengan sebab
tersebut Allah memberikan kebaikan yang banyak sehingga aku merasa beruntung
(HR Muslim)
Dari hadit diatas dapat dilihat bahwa, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memilihkan Usamah dan mengekslusikan Muawiyah yang tidak
sekufu masalah harta untuk Fatimah binti Qais. Sehingga hal ini digunakan
beberapa ulama bahwa makna sekufu juga masalah selain keimanan, misalnya
kekayaan dan status sosial. Dan barangsiapa darimu semua yang mendapatkan ujian
dari hal ini (ditolak karena kekayaan dan status sosial), bersabarlah. Allah ta’ala
menyiapkan yang terbaik untukmu
selain dia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan
Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin
Haritsah bekas budak Beliau. Dan menikahkan Bilal bin Rabah, bekas budak dan
bukan bangsa arab, dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf, pedagang
sukses dan bangsa arab.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma‘ad, yang
dianggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Al Qur’an dan As Sunnah
tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab
(keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Meski demikian, bukan
berarti masalah usia, harta dan kedudukan serta kecantikan dan ketampanan
diabaikan begitu saja. Sebab kita hidup bersama keluarga besar dan masyarakat.
Kita hidup dengan lingkungan dan situasi yang tidak sama dibandingkan dengan
lingkungan dan situasi yang dialami oleh para sahabat.
Pandangan menikah seprofesi dan di luar profesi
(Kedokteran)
Alhamdulillah jika kamu sudah berfikir untuk melengkapi
separuh agama. Sebelum menentukan seprofesi atau di luar profesi, yang pertama
adalah bersihkan dulu niat menikah untuk apa. Jika semua ikhlas untuk Allah,
niscaya akan dimudahkan oleh-NyaDalam hal ini saya membagi dua kubu, yang
memilih seprofesi dan yang lintas profesi.
Menikah seprofesi akan lebih memahami
Ada senior kami yang bilang bahwa “Cuman dokter yang
mengerti dokter”. Hal ini tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya
benar. Dalam profesi kami, dokter, banyak sekali tingkat kompetensi yang harus
dikuasai baik dokter umum maupun dokter spesialis. Terlebih ketika masih
mengemban pendidikan, akan memiliki waktu yang lebih banyak dihabiskan di rumah
sakit, bahkan seperti rumah sakit adalah rumah utamanya sementara rumah hanya
untuk “menaruh barang “ saja.
Diantara kelebihan memiliki pasangan yang seprofesi yaitu,
pasangan akan memahami kesibukan kita, bahkan mendukung terus karir kita karena
dia tahu akan siklus atau jalan yang harus dilewati untuk lulus dari ini.
Bahkan pasangan bisa dijadikan media konsultasi atau diskusi dalam suatu
masalah karir. Inilah yang mungkin bisa diambil kesimpulan tentang “Cuman
dokter yang mengerti dokter”. Dan mungkin akan lebih nyambung jika masuk dalam
lingkup teman pasangan kita yang juga kebanyakan profesi dokter. Di zaman
sekarang yang pendidkan dokter umum juga semakin susah, pasangan yang seprofesi
juga akan paham bahwa menjadi dokter tidak langsung suskes, karena ada tahapan
yang musti dilalui untuk menjadi dokter yang sukses baik secara dunia dan
akhirat.
Tetapi kita juga harus siap dan bijak dalam menyikapi jika
pasangan kita ingin melakukan aktualisasi diri, sehingga meninggalkan tugasnya
(sebagian atau seluruhnya) sebagai Ibu rumah tangga. Contoh kasus nyata adalah
istri yang meninggalkan anak untuk sekolah spesialis, istri minta dibayai untuk
dibiayai spesialis padahal suami belum mampu. Dengan perasaan adanya kesetaraan
antara suami dan istri, maka bisa jadi istri yang harusnya lebih mengormati
suaminya akan merasa selevel, sehingga tidak memposisikan suami sebagai
pemimpin. Contoh kasusnya adalah istri yang melaporkan ke orang tua untuk
diizinkan sekolah spesialis suami padahal suami ingin istri dirumah. Suatu
kasus terjadi juga adalah ketika salah satu senior kami ingin melanjutkan
pendidkan spesialis bedah saraf, tapi karena istrinya dokter mengetahui lama
pendidkan dan sibukanya pendidikan residen bedah maka beliau mengurungkan
keinginannya untuk menjadi spesialis bedah saraf dan beralih ke spesialistik
lain.
Menikah di luar profesi lebih mempererat kepercayaan
Karena cinta sejati adalah jika kita mencintai
kekurangannya. Meski banyak sekali hal yang tidak kita ketahui dengan calon
pasangan kita yang tidak seprofesi, baik dari rutinitas dan pergaulannya di
lingkup profesi tetapi ini lah yang paling memantang tapi dapat menimbulkan
kepercayaan antara keduanya lebih erat apalagi jika aspek yang dilihat pertama
adalah agama dan akhlaq. Karena siapapun yang memuliakan apa yang
dibawa rasul-Nya, akan dimuliakan oleh Allah ta’ala pula.
Kelebihannya jika pasangan kita tidak seprofesi diantaranya
adalah dia akan lebih respect dengan kita sebagai profesi dokter, bahkan
keluarganya juga. Karena di masyarakat kita dokter adalah profesi yang memiliki
status sosial tinggi, baik secara ilmu dan pengabdiannya ke masyarakat. Lalu
selain itu, istri akan memposisikan kita sebagai pemimpin karena dia cenderung
tidak menyepelekan dan meletakkan kita diatas. Jika pasangan kita di luar
profesi dokter dan memiliki kesibukan yang rendah dalam karirnya, ini akan
menguntungkan pada pendidikan anak kita. Karena kita paham bahwa ibu merupakan
madrasah utama bagi anaknya.
Akan tetapi kita juga harus siap-siap dan bijak, jika
pasangan kita marah atas pekerjaan kita yang overtime, maupun sering jaga,
adanya panggilan CITO ketika sudah merencanakan sesuatu, bahkan anak pun bisa
ikut membenci profesi kita sebagai dokter. Karena ketika pasangan tidak bisa
memahami kesibukan kita, djelaskan seperti apapun mungkin sulit baginya untuk
mengerti. Jadi dalam setiap hal, baik seprofesi atau tidak seprofesi, sabarlah
dalam menyikapi pasanganmu.
Apappun keputusanmu, maka.....
Dari seluruhnya, kita sepakati bahwa agama dan akhlaq yang
baik adalah pertimbangan utama dalam memilih pasangan kita. Diantara akhlaq
yang dicari adalah yang hilm (santun), lembut dan menentang hati. Wajah walau
bukan utama, setidaknya pilih yang membuat hati tentram. Jika dirimu menemukan
seorang yang baik dalam agama dan akhlaq dan merasa cocok, baik seprofesi atau
tidak seprofesi, itu bukan masalah. Segeralah untuk melamarnya atau mengode
(minta dilamar).
Dan jika nanti kamu sudah menyandingnya sebagai istri yang
sah, berusahalah untuk ikhlas dalam menjalani peran suami atau istri. Serta
selalu komunikasikan atau diskusikan setiap masalahmu dengannya, atau kita
sebut ini sebagai musyawarah. Meskipun suami adalah pemimpin dan pembuat
keputusan dalam keluarga, tapi tetap hargailah dia sebagai istrimu.
Semoga Allah subhana wa ta’ala memberikanmu jodoh
yang terbaik untukmu, entah seprofesi maupun tidak. Itu adalah pilihanmu.
Wallahu a’lam bish showab
Status Sosial tinggi, semoga tidak menjerumuskan k dalam ujub, amin
BalasHapusKalau ada waktu, mungkin bisa dilihat dan direnungkan forumsalafy.net/bahaya-rodja-tv-untuk-salafiyyin-salafiyyat/
BalasHapus