Belajarlah Menjadi Ibu dari Sekarang
Wahai
saudariku…
Apakah
engkau mendambakan keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah?
Apakah
engkau menginginkan seorang suami sekaligus imam yang baik?
Seorang imam
yang benar-benar amanah dalam mengayomi keluarganya?
Seorang
suami yang penyayang kepada dirimu dan kepada anak-anakmu nantinya?
Jika dirimu
menginginkan kriteria suami yang demikian, maka insyaAllah itu lah kriteria
yang diharapkan oleh wanita muslimah.
Akan tetapi,
jangan hanya menjadi khayalan, tetapi imbangi keinginanmu itu dengan usaha
memperbaiki diri.
Karena kalau
cuma mengkhhayal memang enak, akan tetapi jika tidak berimbang dengan usaha
kita maka engkau malah akan “kuwalahan”
Allah Ta’ala
berfirman
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
"Wanita-wanita
yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang
baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur:
26)
Karena perlu
diketahui, menikah itu tidak cuma satu atau dua hari, bukan 1 bulan atau
tahunan tetapi dia akan menjadi teman hidupmu nantinya.
Oleh karena
itu, para Lelaki yang sudah memahami islam dengan baik dan tujuan dari menikah jika
ia hendak menikah akan berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam
memilih pasangan hidup.
Al Bukhari
pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama)
kemudian di dalamnya terdapat hadits,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها،
فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita
biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya
(keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Dan kau tau?
Salah satu yang dipikirkan oleh Lelaki adalah bagaimana anaknya nanti? Oleh
siapa dia adakan diasuh? Dan dari rahim siapa dia akan dilahirkan?
Karena
lelaki tau, bahwa ada hak anak yang harus diperhatikan BAHKAN sebelum dia
menikah.
MasyaAllah,
bukankah islam ini sangat indah? Hak anak sangat diperhatikan bahkan sebelum
lahir.
Para ulama
menyebutkan,
الأم صانعة الأجيال
“Ibu adalah
pencetak generasi.” Karena dia memiliki peran terbesar dalam mendidik anak.
Perhatikan
kisah dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiallahu’anhu ketika ada
seseorang yang mengadu mengenai anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan
bahwa putranya selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka
Umar pun memanggil anak itu dan memarahinya.
“Celaka
engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orang tua adalah dosa besar
yang mengundang murka Allah?”, bentak Umar.
“Tunggu
dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang
seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak
terhadap ayahnya”, tanya si anak.
“Benar”,
jawab Umar. “Lantas apa hak anak terhadap ayahnya tadi”, lanjut si anak.
“Ada tiga”,
jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik bagi putranya.
Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaknya ia
mengajarinya menghafal Al Qur’an”.
Maka si anak
mengatakan, “ketahuilah wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak pernah melakukan
satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih calon ibu yang baik bagiku,
ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar
seharga 2 dirham. Lalu malamnya ia gauli sehingga hamil mengandungku. Setelah
aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al*, dan ia tidak pernah mengajariku menghafal
Al Qur’an walau seayat!”.
“Pergi sana!
Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil, pantas kalau ia durhaka kepadamu
sekarang”, bentak Umar kepada ayahnya (Masuliyatur rajuli fii usratihi).
*Ju’al
adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga
diartikan sebagai orang yang berkulit hitam dan berparas jelek (mirip kumbang)
atau orang yang emosional
Imam Ahmad
bercerita, “Ibu-ku yang menuntun diriku hinggal aku hafal al Qur’an ketika
masih berusia 10 tahun. Dia selalu membangunkan aku jauh lebih awal sebelum
waktu shalat subuh tiba, memanaskan air untukku karena cuaca di Baghdad sangat
dingin, lalu memakaikan baju dan kami pun menunaikan shalat tahajud semampu
kami.”
Usai
menunaikan shalat malam, sang ibu pergi ke masjid dengan mengenakan cadar untuk
menunaikan shalat shubuh bersama Ahmad semenjak beliau berusia 10 tahun. Sejak
pagi hingga tengah hari, Imam Ahmad terus diajari ilmu pengetahuan oleh sang
ibundanya.
Ibunda Ahmad
pernah berpesan, “Anakku, pergilah untuk menuntut ilmu Hadis karena hal itu
adalah salah satu bentuk hijrah di jalan Allah!”
Sang ibu
mengemas seluruh keperluan sang anak dalam perjalanan, kemudian berkata,
“Sesungguhnya Allah jika dititipi sesuatu, Dia akan selalu menjaga titipan
tersebut. Jadi, aku titipkan dirimu kepada Allah yang tidak akan membiarkan
titipannya terlantar begitu saja.’
Sejak
itulah, Imam Ahmad pergi dari sisi sang ibunda tercinta menuju kota Madinah,
Makkah dan Shan’a’. Akhirnya, beliau kembali dengan menyandang gelar Sang Imam.
Sekalipun
wanita gerakannya lebih terbatas, namun mereka menentukan kualitas generasi
penerus umat… Imam Ahmad bercerita, “Ibu-ku yang menuntun diriku hinggal aku
hafal al Qur’an ketika masih berusia 10 tahun. Dia selalu membangunkan aku jauh
lebih awal sebelum waktu shalat subuh tiba, memanaskan air untukku karena cuaca
di Baghdad sangat dingin, lalu memakaikan baju dan kami pun menunaikan shalat
tahajud semampu kami.”
Usai
menunaikan shalat malam, sang ibu pergi ke masjid dengan mengenakan cadar untuk
menunaikan shalat shubuh bersama Ahmad semenjak beliau berusia 10 tahun. Sejak
pagi hingga tengah hari, Imam Ahmad terus diajari ilmu pengetahuan oleh sang
ibundanya.
Ibunda Ahmad
pernah berpesan, “Anakku, pergilah untuk menuntut ilmu Hadis karena hal itu
adalah salah satu bentuk hijrah di jalan Allah!”
Sang ibu
mengemas seluruh keperluan sang anak dalam perjalanan, kemudian berkata,
“Sesungguhnya Allah jika dititipi sesuatu, Dia akan selalu menjaga titipan
tersebut. Jadi, aku titipkan dirimu kepada Allah yang tidak akan membiarkan
titipannya terlantar begitu saja.’
Sejak
itulah, Imam Ahmad pergi dari sisi sang ibunda tercinta menuju kota Madinah,
Makkah dan Shan’a’. Akhirnya, beliau kembali dengan menyandang gelar Sang Imam.
Sekalipun
wanita gerakannya lebih terbatas, namun mereka menentukan kualitas generasi
penerus umat.
Wahai ukhti,
siapkanlah dirimu untuk menjadi Ibu mulai dari sekarang. Bukan nanti ketika
sudah menikah atau sudah mempunyai anak, karena lelaki yang baik pasti akan
mencarikan calon anaknya ibu yang baik.
Selamat
memperbaiki diri 😁
Wallahu a’lam
Kharisma
Ridho Husodo
28 Jumaadal
Aakhir 1438H
0 komentar:
Posting Komentar