Jumat, 11 Mei 2018

Pilih seprofesi atau tidak seprofesi?


Tentang Sekufu, Apakah juga termasuk seprofesi?
Penyusun : Kharisma Ridho Husodo, S.Ked

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah tabaraka wata’ala yg karena rahmatNya tulisan ini dapat tergagas dan terwujud. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada baginda Nabiyyuna Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarganya, para sahabat dan umatnya yg senantiasa teguh menggengam erat ajaran beliau.
Tulisan ini tergagas sekitar 2 tahun yang lalu, ketika memasuki masa galau, setelah sarjana kedokteran. Mulai titik tersebut sudah banyak terpikirkan masa depan, salah satunya adalah sandaran hati, teman sehidup sesurga. Terutama untukmu kaum pemuda, jofisa (Jomblo fii sabiilillaah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).”(HR Bukhari & Muslim)

Betapa tidak? Di zaman yang fitnahnya na’udzubillah ini, menikah adalah salah satu solusi untuk menjaga diri dari fitnah (bagi yang sudah mampu untuk menikah). Selain itu, untuk menjaga keturunan kita agar senantiasa dalam kebaikan. 

Bukankah langkah pertama dalam menentukan arah pendidikan anak kita adalah mencarikan ibu yang baik baginya?

Sungguh islam ini benar telah sempurna dan lengkap. Alhamdulillah, Allah ta’ala telah memilih kita menjadi seorang muslim.
Di lingkup kehidupan profesi, banyak diantara senior kami cenderung memilih pasangan dari kalangan sesama profesi karena alasan tertentu. Akan tetapi juga terdapat sudut pandang lain yang tidak kalah penting, yaitu yang cenderung memilih pasangan di luar lingkup profesi.

Bukankah islam juga mengajarkan untuk mencari pasangan yang sekufu? Apakah seprofesi termasuk sekufu? Apakah ini menjadi keharusan?

Menikah adalah Sunnah Rasul
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.(HR Ibnu Majah)

Islam adalah agama yang sesuai fitah manusia diciptakan secara pasang-pasangan. Dalam islam juga sudah diatur bagaimana menyatukan dua insan yang terpisah sementara untuk disatukan lagi dalam mahligai rumah tangga melalui proses menikah.  

Maka sungguh aneh, jika ada yang sengaja menunda nikah padahal sudah mampu dengan alasan harus punya rumah dulu, punya mobil dulu, punya ruko dulu dan yang lainnya. Untukmu yang sekiranya udah mampu untuk menafkahi untuk kebutuhan pokok, walaupun masih ngontrak atau menumpang di rumah orang tua / mertua, segeralah menikah. Karena Allah ta’ala akan menolong, dan ini adalah janji-Nya yang termaktub dalam Al-Quran :
انكحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (me-nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [QS An-Nuur : 32]

Dan ini lah yang diserukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka juga pasti akan ditolong :
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ.
“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” (HR Ahmad dan An-nasa’i)

Lalu apa yang ragu lagi bagimu, insyaAllah Dia akan menolongmu dengan cara yang tidak terduga dan dari arah yang tidak tersangka. MasyaAllah, begitulah Allah ta’ala memberikan kejutan kebahagiaan kepada hamba-Nya yang percaya kepada-Nya, tapi kebanyakan kita tidak percaya.
Dan petunjuk yang diberikan Allah kepada umatNya melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempertimbangkan pemilihan calon setidaknya terdapat 4 aspek. Sebagaimana dalam hadits berikut :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena 4 hal. Yakni karena kecantikannya, karena hartanya, karena nasabnya,  karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (HR & Bukhari & Muslim)

Memang tidak dapat dipungkiri, yang menjadi daya tarik dari kaum wanita adalah kecantikannya terutama adalah secara fisik. Tetapi tidak sedikit juga, laki-laki yang lebih tertarik dengan hartanya atau nasabnya, semisal status sosialnya baik secara jabatan, profesi, pekerjaan maupun yang lainnya.
Akan tetapi ketika dihadapkan dengan aspek agama, tidak banyak yang teliti dalam melihatnya. 

“Asalkan seagama, it’s okay”, ini adalah kebanyakan pemikiran mereka, tapi bagaimana kalau islamnya hanya sebatas KTP? Shalat sering bolong, mau mengurus rumah tangga? Hal ini lah yang berbahaya. Maka perhatikan pula kompetensi agama calon pasanganmu, InsyaAllah dengan akhlaq yang baik, akan menyikapi permasalahan rumah tangga dengan bijak, tidak mudah keluar perkataan yang jelek dan perlakuan kasar.

Apa makna sekufu?
Dalam tulisan ini akan lebih fokus pada makna sekufu (kafa’ah). Bagaimana sih sekufu itu? Sama satu daerah? Sama satu adat? Sama satu profesi? Selevel jabatannya?

Secara arti, Sekufu (Kafa’ah) adalah kesamaan, kesetaraan atau kecocokan. Jika dikaitkan dalam pemilihan pasangan maka hal ini bermakna adanya kesamaan atau kesetaraan antara “Aku” dan “kamu”, dimana kesetaraan ini bisa dalam hal keturunan, status sosial, ilmu dan harta kekayaan.
Beberapa ulama juga memiliki pendapat mengenai cakupan sekufu. Berikut adalah ringkasannya :
1.       Sekufu diukur dengan nasab (keturunan), ketaatan, agama, jabatan, pekerjaan dan kekayaan.
2.       Sekufu dalam masalah ketaatan dalam agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya.

Pendapat kedua tersebut didasarkan pada firman Alah :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanta musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, sekalipun dia sangat menarik bagimu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanita mukmin dari kaummu) dengan pria musyrik sampai dia beriman. Sungguh budak laki-laki yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun dia sangat menarik.”(QS Al-Baqarah : 221)

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa sekufu yang dimaksud adalah dalam level keimanan, bahkan dihadapkan dengan seorang budak. Sehingga pernikahan antara muslim dan kafir bukanlah pernikahan yang sekufu. Sehingga kesetaraan yang disepakati ulama bahkan menyebabkan pernikahan tidak sah jika kesetaraan ini tidak diperhatikan adalah kesetaraan dalam agama. Setara dalam agama artinya agama calon suami dan istri itu sama. Seorang muslimah hanya setara dengan seorang muslim. Para ulama sepakat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir.

Sedangkan kesetaraan dalam masalah yang lainnya diperselisihkan oleh para ulama, apakah perlu diperhatikan ataukah tidak. Tetapi pernikahan yang tidak dilandasi oleh kesetaraan (selain sekufu dalam agama dan menjaga kehormatan) itu tidaklah haram. Dampak negatif pernikahan yang tidak dilandasi kesetaraan adalah timbulnya dampak bagi pihak perempuan dan walinya. Kalau seandainya pihak perempuan dan walinya ridha dengan aib yang ditanggungnya maka akad nikah sah. Demikianlah pendapat ulama yang beranggapan bahwa sekufu dalam selain masalah agama adalah masalah yang urgen.
Berikut terdapat hadits yang menceritakan tentang kesefukuan dalam memilih pasangan :
    فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ».
    فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ « انْكِحِى أُسَامَةَ ». فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah binti Qais tentang dua orang yang telah melamarnya, “Abu Jahm adalah orang yang suka memukul istrinya. Sedangkan Muawiyah adalah orang yang tidak berharta. Menikahlah dengan Usamah”. Sebenarnya aku tidak suka dengan Usamah namun sekali lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah dengan Usamah”. Ahirnya aku menikah dengannya. Dengan sebab tersebut Allah memberikan kebaikan yang banyak sehingga aku merasa beruntung (HR Muslim)

Dari hadit diatas dapat dilihat bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilihkan Usamah dan mengekslusikan Muawiyah yang tidak sekufu masalah harta untuk Fatimah binti Qais. Sehingga hal ini digunakan beberapa ulama bahwa makna sekufu juga masalah selain keimanan, misalnya kekayaan dan status sosial. Dan barangsiapa darimu semua yang mendapatkan ujian dari hal ini (ditolak karena kekayaan dan status sosial), bersabarlah. Allah ta’ala  menyiapkan yang terbaik untukmu selain dia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak Beliau. Dan menikahkan Bilal bin Rabah, bekas budak dan bukan bangsa arab, dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf, pedagang sukses dan bangsa arab. 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma‘ad, yang dianggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Meski demikian, bukan berarti masalah usia, harta dan kedudukan serta kecantikan dan ketampanan diabaikan begitu saja. Sebab kita hidup bersama keluarga besar dan masyarakat. Kita hidup dengan lingkungan dan situasi yang tidak sama dibandingkan dengan lingkungan dan situasi yang dialami oleh para sahabat.

Pandangan menikah seprofesi dan di luar profesi (Kedokteran)
Alhamdulillah jika kamu sudah berfikir untuk melengkapi separuh agama. Sebelum menentukan seprofesi atau di luar profesi, yang pertama adalah bersihkan dulu niat menikah untuk apa. Jika semua ikhlas untuk Allah, niscaya akan dimudahkan oleh-NyaDalam hal ini saya membagi dua kubu, yang memilih seprofesi dan yang lintas profesi.

Menikah seprofesi akan lebih memahami
Ada senior kami yang bilang bahwa “Cuman dokter yang mengerti dokter”. Hal ini tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam profesi kami, dokter, banyak sekali tingkat kompetensi yang harus dikuasai baik dokter umum maupun dokter spesialis. Terlebih ketika masih mengemban pendidikan, akan memiliki waktu yang lebih banyak dihabiskan di rumah sakit, bahkan seperti rumah sakit adalah rumah utamanya sementara rumah hanya untuk “menaruh barang “ saja. 

Diantara kelebihan memiliki pasangan yang seprofesi yaitu, pasangan akan memahami kesibukan kita, bahkan mendukung terus karir kita karena dia tahu akan siklus atau jalan yang harus dilewati untuk lulus dari ini. Bahkan pasangan bisa dijadikan media konsultasi atau diskusi dalam suatu masalah karir. Inilah yang mungkin bisa diambil kesimpulan tentang “Cuman dokter yang mengerti dokter”. Dan mungkin akan lebih nyambung jika masuk dalam lingkup teman pasangan kita yang juga kebanyakan profesi dokter. Di zaman sekarang yang pendidkan dokter umum juga semakin susah, pasangan yang seprofesi juga akan paham bahwa menjadi dokter tidak langsung suskes, karena ada tahapan yang musti dilalui untuk menjadi dokter yang sukses baik secara dunia dan akhirat.

Tetapi kita juga harus siap dan bijak dalam menyikapi jika pasangan kita ingin melakukan aktualisasi diri, sehingga meninggalkan tugasnya (sebagian atau seluruhnya) sebagai Ibu rumah tangga. Contoh kasus nyata adalah istri yang meninggalkan anak untuk sekolah spesialis, istri minta dibayai untuk dibiayai spesialis padahal suami belum mampu. Dengan perasaan adanya kesetaraan antara suami dan istri, maka bisa jadi istri yang harusnya lebih mengormati suaminya akan merasa selevel, sehingga tidak memposisikan suami sebagai pemimpin. Contoh kasusnya adalah istri yang melaporkan ke orang tua untuk diizinkan sekolah spesialis suami padahal suami ingin istri dirumah. Suatu kasus terjadi juga adalah ketika salah satu senior kami ingin melanjutkan pendidkan spesialis bedah saraf, tapi karena istrinya dokter mengetahui lama pendidkan dan sibukanya pendidikan residen bedah maka beliau mengurungkan keinginannya untuk menjadi spesialis bedah saraf dan beralih ke spesialistik lain.

Menikah di luar profesi lebih mempererat kepercayaan
Karena cinta sejati adalah jika kita mencintai kekurangannya. Meski banyak sekali hal yang tidak kita ketahui dengan calon pasangan kita yang tidak seprofesi, baik dari rutinitas dan pergaulannya di lingkup profesi tetapi ini lah yang paling memantang tapi dapat menimbulkan kepercayaan antara keduanya lebih erat apalagi jika aspek yang dilihat pertama adalah agama dan akhlaq. Karena siapapun yang memuliakan apa yang dibawa rasul-Nya, akan dimuliakan oleh Allah ta’ala pula.

Kelebihannya jika pasangan kita tidak seprofesi diantaranya adalah dia akan lebih respect dengan kita sebagai profesi dokter, bahkan keluarganya juga. Karena di masyarakat kita dokter adalah profesi yang memiliki status sosial tinggi, baik secara ilmu dan pengabdiannya ke masyarakat. Lalu selain itu, istri akan memposisikan kita sebagai pemimpin karena dia cenderung tidak menyepelekan dan meletakkan kita diatas. Jika pasangan kita di luar profesi dokter dan memiliki kesibukan yang rendah dalam karirnya, ini akan menguntungkan pada pendidikan anak kita. Karena kita paham bahwa ibu merupakan madrasah utama bagi anaknya. 

Akan tetapi kita juga harus siap-siap dan bijak, jika pasangan kita marah atas pekerjaan kita yang overtime, maupun sering jaga, adanya panggilan CITO ketika sudah merencanakan sesuatu, bahkan anak pun bisa ikut membenci profesi kita sebagai dokter. Karena ketika pasangan tidak bisa memahami kesibukan kita, djelaskan seperti apapun mungkin sulit baginya untuk mengerti. Jadi dalam setiap hal, baik seprofesi atau tidak seprofesi, sabarlah dalam menyikapi pasanganmu.

Apappun keputusanmu, maka.....
Dari seluruhnya, kita sepakati bahwa agama dan akhlaq yang baik adalah pertimbangan utama dalam memilih pasangan kita. Diantara akhlaq yang dicari adalah yang hilm (santun), lembut dan menentang hati. Wajah walau bukan utama, setidaknya pilih yang membuat hati tentram. Jika dirimu menemukan seorang yang baik dalam agama dan akhlaq dan merasa cocok, baik seprofesi atau tidak seprofesi, itu bukan masalah. Segeralah untuk melamarnya atau mengode (minta dilamar).

Dan jika nanti kamu sudah menyandingnya sebagai istri yang sah, berusahalah untuk ikhlas dalam menjalani peran suami atau istri. Serta selalu komunikasikan atau diskusikan setiap masalahmu dengannya, atau kita sebut ini sebagai musyawarah. Meskipun suami adalah pemimpin dan pembuat keputusan dalam keluarga, tapi tetap hargailah dia sebagai istrimu.

Semoga Allah subhana wa ta’ala memberikanmu jodoh yang terbaik untukmu, entah seprofesi maupun tidak. Itu adalah pilihanmu.
Wallahu a’lam bish showab

2 komentar:

  1. Status Sosial tinggi, semoga tidak menjerumuskan k dalam ujub, amin

    BalasHapus
  2. Kalau ada waktu, mungkin bisa dilihat dan direnungkan forumsalafy.net/bahaya-rodja-tv-untuk-salafiyyin-salafiyyat/

    BalasHapus

Copyright © 2014 Qolbu Booster