Rabu, 28 Oktober 2015
Selasa, 27 Oktober 2015
Pemuda, AKSI dan Islam
Saya seorang mahasiswa dan pemuda yang memiliki jiwa menggebu dalam menanggapi sesuatu hal. Seketika ada sesuatu yang tidak sesuai hati ataupun yang bersifat mendzalimi, maka berontak diri ini untuk memeranginya. Akan tetapi ingatlah, ilmu dahulu sebelum beramal, berkata dan beraksi.
Apa itu SYUBHAT?
Bagi para pemuda, timbalah ilmu sebanyak-banyaknya karena pemuda ini adalah sasaran dari 2 musuh utama kita yaitu syubhat dan syahwat. Mengenai syubhat, perhatikanlah hadits berikut yang merupakan salah satu dari hadits Arbain Nawawi yang merupakan hadits-hadits mengenai rukun pokok dalam beragama.
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits diatas menunjukkan ada dua faedah besar di sini yaitu meninggalkan perkara syubhat dapat mensucikan (menjaga) agama kita, dan juga menjaga kehormatan kita. Selain itu hadits ini menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudahan dan seenaknya saja memilih yang ia suka padahal perkara tersebut masih samar hukumnya, maka ia bisa jadi terjerumus dalam keharaman. Dari dua faedah ini Syaikhuna, Syaikh Sholih Al Fauzan Hafidzahullah mengatakan, “Dari sini menunjukkan bahwa janganlah kita tergesa-gesa sampai jelas suatu perkara.”
Ibnu Daqiq Al ‘Ied mengatakan bahwa orang yang terjerumus dalam syubhat bisa terjatuh pada yang haram dilihat dari dua sisi: (1) barangsiapa yang tidak bertakwa pada Allah lalu ia mudah-mudahan memilih suatu yang masih syubhat (samar), itu bisa mengantarkannya pada yang haram, (2) kebanyakan orang yang terjatuh dalam syubhat, gelaplah hatinya karena hilang dari dirinya cahaya ilmu dan cahaya sifat wara’, jadinya ia terjatuh dalam keharaman dalam keadaan ia tidak tahu. Bisa jadi ia berdosa karena sikapnya yang selalu meremehkan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Jika perkaranya syubhat (samar), maka sepatutnya ditinggalkan. Karena jika seandainya kenyataan bahwa perkara tersebut itu haram, maka ia berarti telah berlepas diri. Jika ternyata halal, maka ia telah diberi ganjaran karena meninggalkannya untuk maksud semacam itu. Karena asalnya, perkara tersebut ada sisi bahaya dan sisi bolehnya.” (Fathul Bari, 4: 291)
Masalah "AKSI PEMUDA"
Katanya metode Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar?
Untuk menjawab ini saya ambilkan dari kumpulan hadits pokok dalam beragama lagi yaitu hadits arbain nawawi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Agama adalah nasihat” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang-orang awamnya.”(HR. Muslim no.55)
Perhatikanlah saudaraku, agama kita mensyariatkan untuk memberi nasihat. Namun tidaklah nasihat tersebut disampaikan kecuali dengan cara yang baik, tidak dengan membuka aib penguasa. Bukankah kita juga tidak ingin apabila aib kita dikuak secara terang-terangan kepada orang-orang khususnya masyarakat yang kita sayangi?
Simaklah baik-baik sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)” (Shahih, riwayat Ahmad, Al Haitsami dan Ibnu Abi Ashim)
Saudaraku, apakah seseorang dapat menerima saranmu dengan baik jika engkau jelek-jelekkan serta kau umbar aibnya di depan umum? Bagaimana jika kejengkelan hatinya telah mendahului nasihatmu?
Malah kemungkinan besar dia yang dinasehati dengan cara terang-terangan itu sudah menerima kebenaran akan tetapi dia menolak diri untuk mengakuinya karena gengsi. Bukankah manusia sering merasa begitu?
Wahai ukhti, jangan nodai sifat "mutiara" milik kalian
Kalau sepengamatan saya, banyakan perempuan daripada laki-lakinya yang aktif. Begitu juga di lingkungan sekitar saya. Subhanallah. Hal ini jelas bertentangan dengan syariat islam, karena Allah melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali dengan alasan yang syar’i. Selain itu, hadirnya ukhti-ukhti di jalanan akan menimbulkan ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita yang bukan mahramnya secara terang-terangan. Laaillahaillallah. Tidakkah mereka memperhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tinggalkanlah olehmu bercampur baur dengan kaum wanita!” (HR. Bukhari).
Padahal kalian wahai para ukhti, lebih diinginkan oleh lelaki shalihah apabila mampu menjaga diri dan menjaga auratmu dengan baik, Alhamdulillah kalau menggunakan jilbab yang lebar yang apabila dipandang menjadikan diri kalian bak mutiara yang dihormati.
Seperti Muamalah riba, Kok bisa?
Dasarnya adalah hadits berikut ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya riba yang paling mengerikan adalah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan” (Shahih, riwayat Abu Dawud dan Ahmad).
Kehormatan seorang muslim adalah haram, sedangkan dalam "AKSI" ini tidak jarang akan engkau temukan berbagai macam pelecehan kehormatan seorang muslim dengan mencelanya. Padahal, dosa terkecil dari suatu riba itu disamakan oleh Rasulullah seperti menzinai ibu kandung sendiri. Naudzubillah (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871)
Bukan ajaran Islam, Iya memang
Memang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya -atau kita sebut salafush shaleh- tidak membenarkan cara seperti ini. "Aksi" pertama dalam islam ini berlangsung pada zaman kekhalifahan Usman bin Affan radhiyallahu 'anhu yang membawa kerusakan dan berakhir pada terbunuhnya beliau. "Aksi" ini adalah provokasi dari kaum munafiqin yang berasal dari kaum yahudi yang pura-pura masuk islam. Jadi apakah kalian membenarkan cara ini untuk mendapatkan kemenangan islam? sekali-kali jangan.
Selain itu "AKSI" adalah produk barat yang jelas-jelas menganut sistem kuffar. Maka tidak pantas bagi seorang muslim untuk memasang label ‘islami’ karena memang Islam tidak mengajarkan cara seperti ini. Tidak berarti dengan menggunakan label ormas "ISLAM" akan membuat cara yang kau lakukan menjadi sesuai syariat dan bahkan lebih parah lagi dengan meyakininya sebagai metode dakwah yang islami. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meniru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Akhir kata, perlu diketahui esungguhnya Islam tidak akan menang dengan cara yang menyelisihi syariat, namun Islam akan menang dengan cara yang benar yang dibangun di atas aqidah yang benar, dan jalan yang telah ditunjukkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Dan pesan saya yang penting adalah "BERILMULAH, timba ilmu agama yang banyak karena ini akan membuka mata dan hati dan semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua".
Maka sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan adalah dengan mengikuti Rasul, bukan dengan menyelisihi beliau.
Wallahu a'lam bish showab
Rabu, 15 Muharram 1437H / 28 Oktober 2015M
Akhukum Kharisma Ridho H
Sumber :
Syarah Hadits Arbain Annawawi
Kumpulan Hadits Bukhari dan Muslim
muslim.or.id
rumaysho.com
Katanya Cinta? Kok banyak pesan menumpuk ga pernah dibaca
Assalamu'alaikumApabila ada sepasang kekasih, tentunya komunikasi dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan rasa cinta antar keduanya
Tapi apabila komunikasi itu tak ada maka rasa cinta itu makin lama akan pudar
Sering banyak pesan menumpuk tapi tidak pernah dibuka apalagi dipahami, bagaimana cinta itu akan tumbuh.
Saudaraku seiman, ini bukanlah soal pasangan sejoli remaja yang mereka membuat suatu komitmen hubungan dengan berlandaskan hawa nafsu yang haram dalam naungan iblis laknatullah
Subhanallah, mereka berbahagia dan memadu kasih dalam hubungan penuh dosa. Mereka bangga memamerkan kekasihnya kepada khalayak ramai. Bahkan pola pikir kebanyakan masyarakat model sekarang sungguh menakutkan.
Remaja lebih takut hidup jomblo dibanding hidup tanpa mengenal ilmu agama, bahkan ada orang tua yang khawatir dengan status anaknya yang masih jomblo dan bangga apabila anaknya itu punya pacar. Naudzubillahi min dzalik.
Saudaraki seiman, ini adalah tentang hubungan seorang hamba dengan penciptanya, Allah azza wa jalla.
Kalau seorang hamba mengaku cinta, kenapa dia jarang berkomunikasi dengan-Nya?
Kalau mengaku cinta, kenapa banyak pesan yang menumpuk yang tidak dibaca bahkan disentuh?
Kalau mengaku cinta, kenapa Al-Quranul kariim jarang dibaca, dipahami bahkan dihafalkan?
Tentunya kalau cinta, seorang pasangan pasti suka mengulang-ulang surat cinta yang diberikam oleh kekasihnya. Bahkan menyimpannya dan membacanya tiap hari. Begitu juga Al-Quran. Allah berfirman
"Dan kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian" (QS Al-Isra' : 82)
Lihatlah, jika galau bukalah surat cinta dari-Nya, bukan musik yang hanya bikin hati semakin pelik dan pikiran semakin terusik.
Karena Allah azza wa jalla ingin memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia memberikan surat cinta untuk hamba-Nya yang didalamnya terkandung petunjuk untuk hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang mempelajarinya akan mendapatkan kebaikan. Sebagaimana sabda dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Quran dan dan mengajarkannya" (HR Bukhari)
Oleh karena itu, marilah mulai sekarang kita bersama-sama membuktikan cinta kita kepada Allah azza wa jalla dengan membaca, menghafalkan dan mentadaburi surat cinta-Nya kepada kita yaitu Al-Quran.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Selasa, 14 Muharram 1437H
Akhukum Kharisma Ridho Husodo
Kamis, 22 Oktober 2015
Wahai hati, Niatmu apakah sudah benar?
Assalamu’alaikumPasti pernah membeli air mineral botol kan?
Air mineral botol inilah yang akan mengobati rasa dahaga kita. Akan tetapi bagaiamana kalau ada teman yang menawarkan air botol tersebut yang tercampur 1 ml urin saja, apakah kita tetap mau meminumnya?
Tentu kita menolak pemberian tersebut apalagi meminumnya?
Lihatlah, sebagai manusia yang banyak kehinaan seperti ini kita tidak mau menerima minuman yang terkontaminasi, apalagi Allah azza wa jalla, Dia-lah Rabb semesta alam.
Apakah dengan amalan yang niatnya untuk duniawi bakal diterima oleh-Nya? Tidak, Allah hanya akan menerima amalan hamba-Nya yang ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu memurnikan niat adalah hal yang penting.
Dalam kitab hadits Arba’in Nawawi, hal pertama yang diajarkan adalah masalah niat. Bahkan para ulama sebagian merekomendasikan dalam setiap kitab atau buku yang dikarang untuk mencantumkan dalil yang berhubungan dengan niat agar para kaum muslimin senantiasa hati-hati dengan amalan amalannya.
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Aku mengendar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya amalan itu hanya bergantung pada niatnya,dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang (berniat) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang (berniat) hijrah karena dunia yang bakal diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya itu.(HR Muslim dan Bukhari)
MasyaAllah, hadits ini menunjukkan bahwa niat itu sebagai barometer untuk menilai sahnya suatu amalan. Apabila niatnya baik, maka amalannya juga baik, tapi apabila niatnya rusak maka rusak pula amalannya.
Sampai pentingnya perkara niat ini, banyak ulama mewasiatkan untuk menyampaikan hadits ini di setiap kitab yang ditulis. Karena Allah azza wa jalla mengetahui apa yang zahir dan apa yang tersembunyi di dalam hati kita. Oleh karena itu, niat ini harus diutamakan untuk mengharap wajah Allah, bukan untuk kepentingan duniawi.
Allah berfirman :
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).
Amalan shaleh yang diniatkan untuk kepentingan dunia walaupun terbesit sedikitpun dapat membuat amalan itu lenyap di mata Allah azza wa jalla. Misalkan agar mendapat pujian, agar mendapat jabatan, agar mendapatkan istri maka itu hanya akan dimasukan ke dalam niatan dunia. Sehingga syirik adalah melakukan sesuatu karena untuk selain Allah sedangkan meninggalkan sesuatu karena selain Allah adalah riya’. Sehingga niat ini memang senantiasa harus kita hadirkan untuk mengharap ridho Allah semata.
Lihatlah hadits berikut karena mereka dihukumi bukan karena amalan zahir mereka, akan tetapi amalan hati mereka.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Rasulullah Shollallahu'alaihi wassalam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang 'alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari' (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.'’ (HR MUSLIM)
Sungguh hadits di atas sangat mulia sekali, hadits tersebut mengingatkan kita agar selalu memperbaiki amalan hati kita sebelum kita beramal secara zahir. Berperilaku menghadirkan rasa “Muraqabatullah” atau Senantiasa diawasi oleh Allah akan membantu kita dalam menata hati kita untuk mengharapkan wajah Allah azza wa jalla.
Hadits di atas juga menjelaskan tentang ditolaknya suatu amal karena dilandasi dengan riya’. Syarat pokok diterima suatu amal shalih adalah : ikhlas karena Allah semata, dan amal tersebut harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah saw. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.
Coba tengok lagi,bukankah amalan yang dilakukan ketiga golongan itu luar bisa?
Tapi amalan mereka ditolak lantaran amalan mereka yang cacat?
Bagaimana dengan kita? Amalan kita apakah sudah besar? Dan apakah yakin bahwa amalan kita ada yang diterima?
Wallahu a’lam bish shawab
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan untuk muhasabah diri dan memperbaiki diri sendiri
Saudaramu, Kharisma Ridho H
Jum'at 10 Muharram 1437H
qolbubooster.blogspot.com
Sumber :
Al-Quran dan Terjemahan
Ringkasan Hadits Shahih Bukhari dan Muslim (Al-Lu’lu’ wal Marjan)
Syarah Hadits Arbain An-Nawawi
Muslim.or.id