Kamis, 22 Oktober 2015

Wahai hati, Niatmu apakah sudah benar?

Assalamu’alaikum
Pasti pernah membeli air mineral botol kan?
Air mineral botol inilah yang akan mengobati rasa dahaga kita. Akan tetapi bagaiamana kalau ada teman yang menawarkan air botol tersebut yang tercampur 1 ml urin saja, apakah kita tetap mau meminumnya?
Tentu kita menolak pemberian tersebut apalagi meminumnya?
Lihatlah, sebagai manusia yang banyak kehinaan seperti ini kita tidak mau menerima minuman yang terkontaminasi, apalagi Allah azza wa jalla, Dia-lah Rabb semesta alam.

Apakah dengan amalan yang niatnya untuk duniawi bakal diterima oleh-Nya? Tidak, Allah hanya akan menerima amalan hamba-Nya yang ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu memurnikan niat adalah hal yang penting.

Dalam kitab hadits Arba’in Nawawi, hal pertama yang diajarkan adalah masalah niat. Bahkan para ulama sebagian merekomendasikan dalam setiap kitab atau buku yang dikarang untuk mencantumkan dalil yang berhubungan dengan niat agar para kaum muslimin senantiasa hati-hati dengan amalan amalannya.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Aku mengendar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya amalan itu hanya bergantung pada niatnya,dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang (berniat) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang (berniat) hijrah karena dunia yang bakal diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya itu.(HR Muslim dan Bukhari)

MasyaAllah, hadits ini menunjukkan bahwa niat itu sebagai barometer untuk menilai sahnya suatu amalan. Apabila niatnya baik, maka amalannya juga baik, tapi apabila niatnya rusak maka rusak pula amalannya.

Sampai pentingnya perkara niat ini, banyak ulama mewasiatkan untuk menyampaikan hadits ini di setiap kitab yang ditulis. Karena Allah azza wa jalla mengetahui apa yang zahir dan apa yang tersembunyi di dalam hati kita. Oleh karena itu, niat ini harus diutamakan untuk mengharap wajah Allah, bukan untuk kepentingan duniawi.

Allah berfirman :
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Amalan shaleh yang diniatkan untuk kepentingan dunia walaupun terbesit sedikitpun dapat membuat amalan itu lenyap di mata Allah azza wa jalla. Misalkan agar mendapat pujian, agar mendapat jabatan, agar mendapatkan istri maka itu hanya akan dimasukan ke dalam niatan dunia. Sehingga syirik adalah melakukan sesuatu karena untuk selain Allah sedangkan meninggalkan sesuatu karena selain Allah adalah riya’. Sehingga niat ini memang senantiasa harus kita hadirkan untuk mengharap ridho Allah semata.

Lihatlah hadits berikut karena mereka dihukumi bukan karena amalan zahir mereka, akan tetapi amalan hati mereka.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Rasulullah Shollallahu'alaihi wassalam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang 'alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari' (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.'’ (HR MUSLIM)

Sungguh hadits di atas sangat mulia sekali, hadits tersebut mengingatkan kita agar selalu memperbaiki amalan hati kita sebelum kita beramal secara zahir. Berperilaku menghadirkan rasa “Muraqabatullah” atau Senantiasa diawasi oleh Allah akan membantu kita dalam menata hati kita untuk mengharapkan wajah Allah azza wa jalla.

Hadits di atas juga menjelaskan tentang ditolaknya suatu amal karena dilandasi dengan riya’. Syarat pokok diterima suatu amal shalih adalah : ikhlas karena Allah semata, dan amal tersebut harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah saw. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.

Coba tengok lagi,bukankah amalan yang dilakukan ketiga golongan itu luar bisa?
Tapi amalan mereka ditolak lantaran amalan mereka yang cacat?
Bagaimana dengan kita? Amalan kita apakah sudah besar? Dan apakah yakin bahwa amalan kita ada yang diterima?

Wallahu a’lam bish shawab

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan untuk muhasabah diri dan memperbaiki diri sendiri

Saudaramu, Kharisma Ridho H
Jum'at 10 Muharram 1437H
qolbubooster.blogspot.com

Sumber :
Al-Quran dan Terjemahan
Ringkasan Hadits Shahih Bukhari dan Muslim (Al-Lu’lu’ wal Marjan)
Syarah Hadits Arbain An-Nawawi
Muslim.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Qolbu Booster